INFORMASI :

SELAMAT DATANG DI WEB RESMI DESA KALISARI KECAMATAN ROWOKELE KABUPATEN KEBUMEN

Legenda dan Sejarah Desa Kalisari

Legenda dan Sejarah Desa Kalisari

Adalah Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Giyanti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I dan segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta) tahun 1755. Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta) meliputi Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede.

Panjer yang masuk dalam wilayah Kedu (yang sekarang adalah Kebumen) pada saat itu dipimpin oleh Ki Bagus Sulaiman yang bergelar KRT Kalapaking III (1751-1790). Dampak pembagian wilayah tersebut berpengaruh pada perluasan wilayah termasuk di wilayah Panjer (Kebumen).

Dampak pembagian wilayah tersebut berpengaruh pada perluasan wilayah termasuk di wilayah  Panjer (Kebumen).

Babad Alas Ki Kremes, Kecebong dan  Belalang

Tersebutlah Ki Kremes atau mbah Sapanyana yang membuka alas / babat alas di wilayah hutan yang bernama hutan Trenggulung bernama Trenggulung karena dihutan tersebut banyak hewan trenggiling. Dalam babat alas tersebut Ki Kremes mencari lokasi untuk memulai babat alas tentunya dengan mempertimbangkan lokasi yang dekat dengan sumber air atau mata air, setelah mencari dan menelusuri hutan kesana kemari belum juga menemukan lokasi yang dekat dengan sungai atau mata air dan hingga akhirnya sampailah ketempat yang penuh dengan kubangan air dan merasa senanglah Ki Kremes akan tetapi setelah didekati diperhatikan ternyata kubangan- kubangan air itu penuh dengan telur dan anakan katak atau kecebong sehingga air yang ada itu kotor dan tidak bisa untuk diminum dan karena merasa sudah putus asa Ki Kremes berkata " ya Allah teng pundi panggenan ingkang onten kaline" atau dalam bahasa indonesia "ya Allah di mana tempat yang ada sungainya", suasana sesaat hening tiba-tiba dari semak-semak yang ada di sekitar kubangan muncul banyak belalang yang mengelilingi dan memandangi Ki Kremes karena merasa sudah putus asa Ki Kremes bertanya pada belalang yang mengelilinginya "walang-walang  apa koe kabeh pada ngerti nang endi  ana banyu sing bisa enyong umbe? " dalam bahasa Indonesia  "belalang  apakah kalian tahu dimana ada air yang bisa aku minum? " dan tidak disangka belalang-belalang yang ada bisa berbicara dengan Ki Kremes dan belalang- belalang yang ada disitu semuanya melompat ke arah lokasi sumber mata air yang tersebutlah sampai saat ini dengan nama mata air Glunggungan yang lokasinya ternyata tidak jauh dari tempat itu. Karena peristiwa yang tidak disangka dimana Ki Kremes bisa berbicara dengan belalang Ki Kremes dikenal juga dengan sebutan mbah Sapanyana "siapa menyangka" Ki Kremes dapat berbicara dengan belalang, dan karena tempat yang menjadi peristiwa itu banyak dipenuhi kubangan berisi anakan katak atau kecebong sehingga tempat itu diberi nama Patcebongan  atau Pecebongan yang sekarang menjadi salah satu nama dusun di Kalisari yaitu dusun Cebongan.

Gunung Kimpul,  Kuwu Cangkring , Orong-orong dan Si Bosok

Ki Kremes atau mbah Sapanyana akhirnya mendirikan padepokan menetap di sebuah bukit yang ada di Pecebongan, bukit berbentuk seperti Kempul (sejenis alat musik gamelan) selain sebagai padepokan di situ juga sebagai tempat  untuk berkumpul dan pertemuan para pemimpin dusun sekitar Pecebongan seperti  ki Jayanagga pemimin dusun Rawakele, Kyai Nuryangiman dari Dusun Redisari, mbah Tumeng dari dusun  Pakuran, mbah  Jaya Dilaga dari Sikayu dan pemimpin dusun lainnya sekitar Pecebongan membicarakan hal-hal terkait perlawanan terhadap VOC Belanda terlebih lagi dengan menyerahnya pangeran Diponegoro kepada Belanda 1830 berpengaruh besar terhadap perlawanan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin dusun yang ada di pelosok. Sampai saat ini masih menjadi bagian dari wilayah desa Kalisari, karena berbentuk seperti Kempul dan menjadi tempat berkumpul bukit tersebut dikenal dengan Gunung Kimpul, diceritakan bahwa nanti pada masanya tiba timbul banjir besar di Jawa  daerah yang tidak akan tertutup banjir adalah salah satunya bukit/gunung Kimpul dan bukit ini akan terlihat seperti "kampul-kampul = kimpul" atau bahasa Indonesianya mengapung.

Sepeninggalan mbah kremes/mbah Sapanyana kampung Pecebongan di pimpin oleh kepala kampung atau kuwu yaitu Karto Taruna yang dikenal dengan mbah Cangkring atau Kuwu Cangkring yang berasal dari Meles dan merupakan adik dari Kuwu Meles saat itu. dan makam/ petilasannya sampai saat ini masih ada yaitu di pertengahan sawah Kalibuntu.

Diriwayatkan juga bahwa mbah Cangkring yang telah meninggal karena asalnya adalah dari desa Meles  maka oleh keluarganya jasad mbah Cangkring mau dipindahkan ke desa asalnya akan tetapi oleh penduduk Pecebongan tidak diperbolehkan karena merupakan sesepuh desa, akhirnya agar tidak diketahui oleh penduduk jasad mbah Cangkring dipindah dengan cara mengutus orang untuk memindahkan jasad mbah Cangkring dan utusan itu berubah menjadi orong-orong atau dikenal juga Anjing tanah atau sesorok atau sigasir dan dengan cara membuat trowongan dengan cara tersebut akhirnya jasad mbah Kuwu Cangkring bisa di bawa tanpa sepengetahuan penduduk, dalam perjalanan pemindahan jasad tersebut setelah keluar dari kawasan pemukiman dan dirasa aman orong-orong tersebut keluar dari dalam tanah bersama jasad mbah Kuwu Cangkring tepatnya di wilayah hutan Trenggulung, setelah keluar dari tanah bersama jasad yang di bawanya si orong-orong kembali berubah menjadi manusia dan melihat ternyata jasad tersebut telah busuk dan karena bau busuk yang menyengat menimbulkan lalat banyak dan berdatangan karena saking banyaknya lalat yang menggerumuti jasad tersebut akhirnya jasad ditinggalkan, bau busuk yang menyengat  membuat penduduk sekitar mencari tahu sumber bau dan akhirnya ditemukanlah mayat di hutan tersebut karena sudah membusuk penduduk tidak mengenali kalau mayat tersebut adalah mbah Kuwu Cangkring karena kejadian tersebut sekarang lebih dikenal dengan alas Si Bosok (bosok = busuk) sedangkan wilayah pemukiman warga diwilayah itu ada yang menyebutnya Grumung (dalam istilah lain Rubung/Gerumut).

Diberi nama Kalisari

Seiring berjalannya waktu wilayah Pecebongan berkembang menjadi perkampungan, karena makin bertambahnya penduduk dan pemukiman sehingga wilayah terbagi menjadi dua kelompok wilayah yaitu Dusun Kalisirah yang berada di wilayah barat dan Dusun Pecebongan atau Cebongan yang berada di wilayah timur. Dusun Kalisirah diambil dari istilah adanya sumber air sungai (Kali = Sungai) (Sirah = Kepala / Pusat ) masing-masing Dusun dipimpin oleh seorang sesepuh yaitu Kalisairah di pimpin oleh Karta Semita sedangkan Cebongan dipimpin Karma Leksana. Tahun 1939 di era Pemerintahan Hindia Belanda yang mengatur tentang desa di Indonesia  maka dua Dusun yang ada tersebut menjadi satu wilayah desa, dengan dengan keadaan wilayah terbut yang terdapat banyak sungai (kali) yang mengalir dari berbagai mata air yang ada di kedua wilayah tersebut maka di sepakati untuk menamakan desa sebagai desa Kalisari (diambil dari kata Kali = aliran air dan Sari = inti/induk/pusat/pokok). Kepala desa yang ditunjuk untuk memipin desa kalisari adalah  Karma Leksana dan untuk mempermudah administrasi desa wilayah desa di bagi menjadi empat dusun yaitu wilayah kampung Kalisairah dibagi menjadi dua dusun yaitu dusun Kaligana dan Pomahan sedangkan yang kampung Pecebongan di bagi menjadi dusun Cebongan Lor dan Cebongan Kidul hingga saat ini.

Pantangan yang dilanggar , Muter Jagat

Walaupun dusun Kalisirah dan dusun Pecebongan digabung menjadi desa, akan tetapi secara adat besar yaitu berupa Memetri Bumi atau adat Suran dan adat Sadranan dilaksanakan terpisah  atau tidak boleh digabung, bagi dusun Kalisairah yang sekarang mencakup dusun Kaligana dan Pomahan) dilaksanakan terlebih dahulu karena merupakan sebelumnya dipimpin oleh Karta Semita yang umurnya lebih tua bertempat di pelataran Balai Desa dan setelah itu dilaksanakan oleh dusun Cebongan yang sekarang mencakup dusun Cebongan Lor dan dusun Cebongan Kidul yang bertempat di pelataran rumah Pamong desa dan apabila adat itu dilanggar maka akan terjadi musibah atau pageblug yang akan menimpa desa. 

Dalam sejarah riwayat desa kejadian yang nyata bahwa pada tahun 1974-an karena dirasa dalam penyelenggaraan adat Memetri Bumi yaitu Suran Desa dengan tradisi kenduren dan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dirasa memakan biaya yang besar jika dilaksanakan dua kali maka warga beinisiatif agar acara memetri bumi atau suran desa tersebut digabung menjadi satu dan pada saat itu bertempat di pelataran SD Inpres yang sekarang bernama SD Negeri 2 Kalisari dan akibat hal tersebut benar saja Kalisari terkena pagebluk banaspati dimana setelah acara Suran desa digelar dalam 3 hari berturut turut banyak anak dan balita yang meninggal secara mendadak tanpa ada sebab dimana pagi sehat dan bermain seperti biasa sorenya meninggal dan dalam 1 keluarga ada yang kehilangan 2 sampai 3 anak sekaligus, dan tercatat belasan anak yang meninggal akibat peristiwa itu, akibat hal tersebut Kades pada saat itu yaitu Kades Kartomo saat itu menjalani tirakat Muter Jagat (mengelilingi desa) pada tengah malam dan dalam tirakatnya bertemu dengan ki Sapanyana dan menyampaikan wangsit/pesan bahwa pageblug banaspati akan sirna jika adat Memetri Bumi atau Suran Desa di gelar kembali, dan benar saja acara Suran desa digelar 1 kali lagi dan akhirnya pagebluk berhenti. Sehingga sampai saat ini acara Memetri Bumi atau Suran Desa dan acara Sadranan tetap diselenggarakan 2 kali dalam bulan yang sama tetapi pada hari yang berbeda dan di tempat yang berbeda, ,dimana untuk wilayah Kaligana dan Dusun Pomahan acara Memetri Bumi atau Suran dan kenduri Sadranan dilaksanakan di Balai Desa Kalisari dan untuk wilayah Dusun Cebongan Lor dan Cebongan Kidul acara Memetri Bumi atau Suran digelar di halaman rumah Sekretaris Desa sedangkan  acara Sadranan di gelar di komplek panembahan ki Sapanyana karena tak ingin pageblug terulang adat tersebut tetap berlku hingga saat ini.

Sumber :  diceritakan oleh 1. mbah Santana dari Khasan Kunawi                                                                         2. mbah H. Muhamad Isnan dari Basuni Ngabas                                                                3. mbah Sapari


Download Dokumen Terlampir :

Bagikan :

Tambahkan Komentar Ke Twitter

Kebumen Terkini

Silaturahmi dengan PPDI, Bupati Minta Perkuat Sinergitas
Bupati Kebumen Hibahkan Eks Gedung SD untuk Pemerintah Desa Sawangan
Bupati Resmikan Pantai Heppii, Wisata Rakyat, Nyaman, Murah Meriah
Bupati Minta Promosi Geopark Kebumen di Gencarkan
Pemkab Kebumen Raih Penghargaan literasi Nasional dari Nyalanesia

Arsip Sejarah Desa

Data Desa

Statistik Pengunjung

Polling 1

Polling 2